Postingan

Menampilkan postingan dari Januari, 2018

Oleh-oleh Liburan

Debur ombak menepi, menghapus jejak kaki yang kutorehkan lalu. Anyir bau samudra menggelitik hidungku yang terbiasa dengan gas hitam kendaraan. Sungguh indah luas bumi ciptaan Tuhan, terbentang seluas mata memandang. Aku terpaku menatap biru laut dan langit yang menyatu. Sesekali camar ramai bersahutan, berbincang menyampaikan pesan. Kulanjutkan langkahku. Sosok anggun berpayung dedaunan rimbun menyita pandangku. Tertunduk khusyuk pada buku dalam pangkuan. Ku dekati dia dalam diam. Kuhentikan langkah menciptakan jarak aku dengannya, tak kulanjutkan. Ku ikuti dia, duduk diam di bawah dedaunan, tapi tak menyimak lautan. Wajahnya mengalihkanku. Tangannya bergerak gesit, memindahkan lukisan alam pada lembaran di pangkuan. Kapan nelayan nun jauh di sana. Kuda yang sedang riang berlarian di tepian menarik keretanya, nampak indah pada potret arsir yang dia buat. "Detail sekali, bahkan pak kusir pun dia pindahkan dengan teliti," kagumku mengalir tak tertahankan. Sesekali dia m

Harmoni

Rinai berderai anggun memijak bumi Menyuarakan kesyahduan alam memuji Ilahi Rabby Berlarian berlomba menyampaikan berkah pada setiap yang mensyukuri Nikmat mana lagi yang akan dipungkiri Sungai berjalan sampai ke tepi Manyambut segara yang membentang bumi Luas, lebar tak terbatas Selaras awan menari dengan bebas Pandai kicau burung di pucuk-pucuk pari Mematuk gemuk biji berjejer rapi Sungguh rejeki tak berlari Nikmat mana lagi yang akan dipungkiri

Pejuang Emas Hitam

Hitam kopi di cangkirnya sehitam kulit yang membalut tubuhnya. Sehitam emas yang ditambangnya, sehitam peluh yang bergulir di pipinya dan sehitam manik matanya. Matahari sedang bersuka ria, sinarnya terang-benderang namun tak dengan pikiran lelaki yang terduduk dalam bimbang. Kalut di dalam kepalanya, sesak dalam dadanya. "Pak, besok adek harus bayar spp nunggak tiga bulan." Ditatapnya tajam sumur tua peninggalan sang menir. Kaki tiga menjulang ke angkasa, dengan timba yang meneteskan lantung-lantung berharga. Diesel tua batuk berasap dimakan usia. Makin kering, senada dengan kantongnya. "Ah, Tuhan rubahlah rindang dedaunan ini jadi uang."

Musim Gugur

Tenang di tengah hutan Jauh dari kebisingan Bersama wanginya alam Lalu ada yang hadir dengan sopan Mengusik tenang yang terancang Merobek penjagaan yang sudah dibentang Gurat ramah menggoyahkan Sepi yang sudah dirancang Kesendirian yang dipertahankan Layaknya papan dengan alu godam Hadir mengusik dengan senyuman Lalu hilang tanpa pesan Meninggalkan keretakan Sendiri dengan potret berserakan

Kapan Nikah?

Dua puluh tujuh, seperempat abad berlalu sudah. Detik berputar kian cepat, tak sadar matahari berputar sangat cepat. Mendung hadir berganti dengan cerah. Bulan berputar tiada henti. Dan sang gadis, semakin jengah dengan pertanyaan yang tak pernah berubah. Kapan Nikah? Seram! Lebih seram dari dia, guling yang melompat. Atau dia yang berambut panjang keriting dengan lingkaran hitam dimatanya, hobi menangis sambil tertawa di pohon depan rumahnya. Jengah, resah, gelisah. Kau pikir aku tak memikirkannya, aku bahkan lebih menginginkannya daripada mereka. Jerit hati kecilnya. Kapan Nikah? Ah, bahkan bumi mendadak sepi. Lidah kelu, tak berasa. Kaku, pilu, jemu. Daun-daun berhenti bergoyang, hingga pawana tak berhembus. Ngeri, sepi, sendiri. Kapan Nikah? Ah ... --------- Oleh Wiwid Di Bagian Dunia yang Lain 😂😂 baca kisah selengkapnya di postingan sebelumnya yaa😆 #30dwc #day7 #onedayonepost

Dua Jiwa

Syahdu lantunan ayat-ayat suci memenuhi ruangan besar di dalam masjid. Kepala-kepala menunduk dalam menghayati. Nana menatap berkeliling, berusaha tak melewatkan hal sekecil apapun seperti yang dipesankan Mbak Ria sebelum acara di mulai. Sekarang ini dia sedang berada di tengah acara Ruqyah Syari Akbar yang digelar komunitas yang kuikuti. "Na, nanti tolong perhatikan setiap peserta yang hadir ya. Jika ada yang bereaksi segera minta ke depan. Ustadzah yang lain akan membantunya," wanita berkacamata dan berparas ayu menatap Nana serius. "Tapi mbak, aku takut kalau aku diapa-apain," air mukanya berubah keruh menanggapi amanah Mbak Ria, dadanya berdegup kencang membayangkan hal-hal menakutkan. Lirih, mbak Ria tertawa geli, "diapa-apain gimana to dek, nggak bakalan. Kamu kebanyakan nonton film horor. Sudah percaya aja sama mbak, tolong ya. Mbak ke depan dulu," mbak Ria berjalan meninggalkan Nana yang gelisah, bergabung bersama enam ustadzah yang lain. Bersiap m

Berdiri di Tepian

Riak air terdengar di telinga, telapak kaki bermain di atas bebatuan. Nampak di barat sang surya menggelayut lelah bersiap kembali ke peraduannya. Sementara aku, masih termenung, sendiri di sini. Lalu lalang senyuman dan tawa di sekitarku. Suara-suara asing menggelitik di telinga.  Anjing-anjing imut menyalak meminta perhatian, berputar-putar di kaki mereka yang mengijinkan. Aku? Tentu tak akan, maaf, seperti inilah aku diperintahkan. Lima, jarum jam menunjuknya. Sejam sudah aku menunggunya. Di tepian sungai yang riaknya tandakan kedalaman dangkal. Menunggu yang kutau tak kan pernah datang. Kamu yang kini telah menjadi bayangan. #30dwc #day5 #onedayonepost

Demi Din

Gambar
Pawana berbisik Gemuruh akan tiba Bersama tangisan tanpa duka Hanya semangat yang berwibawa Demi din Yang mereka pegang erat Walau kau datang dari empat Mereka tak kan bergerak Ini tanahku Kata mereka Kau tak berhak injakkan kaki berlumpurmu di tanah suciku Pergilah dengan mata terbuka Atau kau ingin menutup mata Katakan pada mereka Demi din yang mereka pegang erat Tak sebutir pasirpun Yang kan mampu mereka bawa Karena kami ADA Kata mereka Dau 2018 #30dwc #day4 #onedayonepost

Kata Hati Seniman Kata

Kesal. Ribuan detik aku terpaku di depan monitor empatbelas inchi. Jemari tertancap erat pada kotak-kotak huruf. Tapi apa, tak ada bahkan sebaris kalimat pun yang menghiasi monitor kosong itu. Jam dinding pun mentertawaiku, "Seniman kata macam apa yang tak punya ide." Dinding-dinding bergeming, dingin. Angin malam berhembus merasuk ke tulang, "sudahlah tidur saja," ujarnya membelai pipiku. Haruskah kutinggalkan monitor tanpa untaian kata ini, dan menyambut pelukan hangat selimut. Ah biarlah, mungkin mentari esok datang bersama ide yang hilang. Atau mungkin nyanyian si jago esok pagi yang mendatangkan si ide itu, bukan hanya satu tapi tiga bahkan lima. #Days3 #30DWC #OneDayOnePost

Tulang tak bernama

Kering, dedaunan berserakan Nisan tua tertancap tanpa nama Mungkin di bawahnya, Tulang belulang itu tak sadar siapa dirinya Tanpa nama Tanda tanda jasa Berjuang hingga peluh mengering Hingga airmata bercampur darah Semua tinggal cerita Jangan kau kira pahlawan Bahkan mereka tak tau kau pernah ada Meski hanya satu, dua Biar saja, waktu menerbangkan semua Damailah bersama mereka Sesama tulang tanpa gelar jasa Di pojok ruang, 12-01-18

Mirah dan Karna, Lukisan Dunia

Kulitnya keriput, tulangnya menonjol tak tertutup. Peluh bercucuran tak henti membasahi. Mirah, mereka menyebutnya. Istri Karna yang terkenal dengan tulang besinya, tak punya lelah. Langit menjadi saksi pertama, di hadapan semesta, wanita tegar, pemilik duka tanpa air mata. Detik berputar, dunia semakin mahal. Namun tak dengan kesejahteraan, hilang. Satu, pinta Mirah pada Penciptanya. Angkat sakit yang merebut hidup dan senyum Karna. Satu dekade telah berlalu, ranjang lebih setia daripadanya. Sejak kokok pertama si jago, hingga bintang berpijar terang Karna bersama ranjangnya. Jangan kau tanya Mirah di mana. Dia bersama cucian basah milik tetangga. Mirah dan Karna, duka dalam indah dunia. #Days1 #30DWC #OneDayOnePost

Pertanyaan Sebuah Luka

Tegar dalam balutan darah, dari kepala hingga ujung kaki. Hujan di wajahnya menjadi saksi kesedihan yang tak berujung. Dalam gelap, dengung melody bom dan senapan terdengar riuh bak konser opera. Jeritan balita dalam dekapan, sumbang memekakkan. Jauh di seberang lautan, terdengar musik yang sama. Pilu, menggoreskan luka merobek gendang telinga. Terbakar, seluruh kisah lebur jadi sebuah kesatuan. Yang beruban pun yang baru sekali membuka mata menatap dunia, membelalak kesakitan, kepanasan. Di mana sejatinya kasih sayang. Di atas binatang-binatang besi yang berlalu-lalang kah? Di ujung-ujung moncong yang memuntahkan peluru panas kah? Atau hanya sekedar dalam  lukisan dengan kata-kata palsu yang nampak di layar telepon genggam. Di mana sejatinya hati para makhluk yang diciptakan penciptanya dengan sempurna? Termakan ketamakan, terbawa angin atau mungkin tenggelam dalam kedalaman kesombongan. Di mana sejatinya persaudaraan? Rogoh jauh ke dalam sakumu. Hilang? Mungkin sudah jatuh b