Di Bagian Dunia Yang Lain

Angka dua puluh tujuh yang kusandang saat ini penuh dengan dilema. Awan mendung yang berarak nampaknya mengerti gundah yang ada dalam hati, rasanya hujan di wajahku akan turun seiring tetesan berkah yang membasahi bumi. Beberapa minggu terakhir dadaku sering sesak, mungkinkah aku butuh menemui dokter untuk memeriksakan diri. Ah ... Nampaknya bukan dokter fisik melainkan pencipta para dokter, Sang Khaliq, Allah Yang Maha Mengetahui, termasuk isi hatiku yang penuh ini.

Tinggal di daerah yang masih kental akan adat ini, menjadikanku bulan-bulanan pertanyaan keluarga tua, kenapa di usiaku yang telah lebih dari seperempat abad ini aku belum memiliki seorang pendamping hidup, padahal sudah banyak lelaki yang datang ke rumah untuk meminangku. Mungkin sudah seribu kali kujelaskan pada mereka, bahwa aku belum mendapatkan seseorang yang tepat. Allah sudah menyiapkan seseorang yang terbaik untukku dan dia belum datang. Sepertinya Allah memintaku untuk bersabar menunggu sembari menyelesaikan study S2 yang sedang memasuki proses uji thesis. Tapi, penjelasanku sepertinya belum bisa menenangkan hati mereka.

“Wid, nampaknya akhir-akhir ini kamu tampak lesu,” Zakia, gadis berjilbab lebar yang menjadi sahabatku sejak SMA, duduk di lantai mengikutiku.
“Entahlah, sepertinya uji teori dosen banyak menguras tenagaku,” mataku tetap terfokus pada deretan huruf pada layar laptopku. Sesi bimbingan dengan dosen hari ini lumayan berat, banyak sekali catatan dan revisi yang harus kuselesaikan. Terngiang-ngiang di telingaku pesan beliau tadi, bahwa beliau memiliki ekspektasi tinggi terhadap karya tulis yang aku sajikan. Baginya aku, Wiwid, adalah mahasiswinya yang akan memiliki masa depan bersinar. Terbukti dari penelitian-penelitian kecilku, ternyata menghasilkan sebuah karya yang luar biasa. Salah satunya temuanku bahwa pohon kedondong mampu menghasilkan listrik. Aku harus bekerja lebih ekstra, agar menghasilkan sebuah karya besar yang bermanfaat.

“Bagaimana liburanmu di rumah pekan lalu? Masih dihantui dengan pertanyaan yang sama?” Zakia memandangku yang masih terpaku pada layar, “bagian ini masih salah nih. Nanti diminta revisi lagi lho.”
“Oh iya, syukron. Kamu memang bisa diandalkan Ki,” aku tersenyum lebar berterima kasih atas koreksinya, “yaa ... Kamu tau lah keluargaku seperti apa. Sekarang bukan hanya ibu dan ayah yang menghantuiku, nenek dan om tante pun ikutan. Tiada detik berlalu tanpa  kicauan merdu itu. Bahkan kini mulai ada harmoni nampaknya.”

“Mulai deh, jurus diksi sang pujangga,” Zakia terkikik mendengar jawabku, “syukuri aja Wid, coba lihatlah aku yang tak memiliki pertanyaan seperti itu. Mama papa bahkan sangat santai tentang hal ini. Ingin rasanya,mama papa tiba-tiba ngenalin cowok untuk dijadiin menantu mereka. Yah ... Memang kita harus mensyukuri setiap yang dimiliki ya,” Zakia memandang langit bir yang bersih dari awan. Entahlah, kemana perginya awan-awan putih yang nampak lembut dan hangat itu. Mungkin mereka pergi ke bagian dunia yang lain, menghibur orang-orang dengan pola lucu yang terlukis pada gumpalan-gumpalannya.

Mungkin juga dia, yang akan menjadi pendamping hidupku dunia akhirat, sedang menikmati awan putih itu. Di bagian dunia yang lain.

#chicklit #tantanganfiksiodop6

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jadi Blogger Profesional bersama ODOP Blogger Squad

Ganti Domain Blog-mu jadi .com dengan Mudah

Beri Makan Kucingmu dengan satu klik dari Handphonemu dengan Bardi Smart Pet Feeder!