Mekar dalam Simpang part 12 end
Part 12
Langit
cerah, angin berhembus sepoi-sepoi. Sambil menikmati es blewah bersama dengan
ayah ibu di gazebo taman Rania menghabiskan akhir pekannya. Bunga-bunga ibu
bermekaran warna-warni, sayuran pun segar-segar menggoda untuk memeting dan
memasaknya. Burung-burung kesayangan bapak juga tak mau kalah, saling
bersahutan berceria dengan temannya. Hari minggu ini, cuaca sangat bersahabat
apalagi suasana hati juga sedang baik. Bulan depan Rania akan berangkat ke
Jakarta untuk melanjutkan sekolahnya meraih gelas Magister di Universitas
Indonesia. Jadi dia ingin menikmati waktu-waktu luangnya di rumah saja bersama
ayah dan ibunya. Waktu-waktu seperti ini akan menjadi langka jika dia sudah
pergi ke Jakarta, karena dia pasti jarang pulang ke Malang.
“Setelah
ini rumah sepi lagi pak,”ujar ibu sambil memandang langit.
“Iya
nih bu, anak bawel kita mau pergi lagi. Ayah ibunya ditinggalkan terus, padahal
nanti kalau sudah menikah pasti lebih sibuk sama suaminya daripada sama kita
bu,” ujar bawah sambil memainkan isi gelasnya.
Rania
tersenyum geli mendengar ayah ibunya merajuk seperti itu. Suasana seperti
inilah yang akan dirindukannya di perantauan, ayah ibunya yang sangat perhatian
dan penuh dukungan.
“Kalau
ada yang melamar kamu tiba-tiba gimana Ran?” Tanya ibu tiba-tiba.
“Ya
Rania minta tunggu Nia lulus S2 dulu bu,” jawab Rania ringan.
“Trus,
habis lulus langsung nikah gitu? Kapan punya waktu buat ayah ibu?”
“Habis
nikah, Nia tinggal di sini biar deket sama ayah ibu dong,” ujar Rania sambil
memeluk orangtuanya.
“Janji
yaa …”
“Yaa
ijin dulu sama suami, kan kewajiban istri patuh pada suami bu,”
“Eh,
sudah pinter ngeles yaaa …”
Lalu
ketiganya tertawa. Tiba-tiba terdengar suara bel berdering, sepertinya ada
tamu, siapa hari minggu pagi begini bertamu. Rania menuju ruang tamu untuk
membuka pintu. Betapa terkejut Rania mendapati wajah Pak Khalif di depan pintu
tersenyum hangat kepadanya, di kanan kirinya berdiri bapak dan ibu entah siapa.
“Boleh
kami masuk?” Tanya pak Kahlif membuyarkan kekagetan Rania.
“Ah …
eh… boleh, silahkan,” ujar Rania masih kaget.
Ayah dan
ibu tiba-tiba muncul dari belakang, dan sama seperti Rania raut heran terpasang
di wajah keduanya. Setelah Rania menghidangkan kue dan minum untuk tamunya. Pak
Khalif mulai berbicara mengenalkan dua orang yang menemaninya tadi, ternyata
beliau berdua adalah oarangtua Pak Khalif. Kalimat yang membuat detak dalam
dada Rania sangat cepat hingga membuat nafasnya memburu dan wajahnya memerah
adalah,
“Saya,
Khalif hari ini datang bersama orangtua saya, ingin melamar putri bapak dan
ibu, Rania.”
Jodoh, akan datang tiada terkira. Di waktu yang tepat dengan
pilihan yang tepat, asalkan kita sabar menanti dan percayakan pada Allah.
Kapasitas kita adalah berusaha menyiapkan diri sebaik-baiknya, untuk bersama
menyempurnakan separuh agama bersamanya yang telah dipilihkan Allah untuk kita.
TAMAT
Komentar
Posting Komentar