Lima Ratus Rupiah Saja

Semilir angin pagi ini tetap lembut seperti biasa, matahari mulai mengangkasa lebih tinggi. Motor bapak melaju pelan, seperti biasa beliau tak pernah mau ngebut, karena kebiasaan beliau yang seperti inilah aku tak pernah mau berangkat mepet waktu kerja. Sampai di usia yang keduapuluh dua ini bapak masih sering mengantarkan ke kantor karena beliau tak mengijinkanku mengendarai kendaraan sendiri. Pernah sekali kutanya alasannya, beliau hanya tersenyum tipis sambil mengucapkan karena khawatir anak gadisnya pergi sendirian. Hatiku terlalu lembut untuk tidak tersentuh oleh jawabannya.

Ada satu lagi kebiasaan beliau, yang hingga membuat penasaranku menggelayut tapi kuurungkan, aku ingin menerka apa jawabannya. Tapi tenyata hingga kini tak kutemukan jua jawabannya. Bapak memberhentikan motornya di gubuk kecil penuh botol-botol berisi cairan kekuningan. Seorang kakek tua yang sedang sibuk mengisi botol-botol kosong menghampiri kami sambil tersenyum ramah.
“Berapa liter?” sang kakek membuka tutup botol dan membawa corong lalu berjalan ke arah motor bapak.
“Satu aja pak, pertalite, biasa,” bapak membuka jok motornya.
Bapak menyerahkan pecahan sepuluh ribuan, dan menerima duaribuan kembalian.

“Pak pareng,” bapak tersenyum ramah pada kakek sebelum melajukan motornya lagi.

Tak sampai dua puluh meter dari gubuk kecil POM bensin berdiri megah. Aku menatap barisan motor yang sedang bersabar menunggu gilirannya untuk diisi.

“Pak, kenapa tak beli bensinnya di POM saja, jaraknya tak terlalu jauh dari penjual eceran yang tadi?” kuberanikan diri untuk mengutarakan pertanyaan yang selama ini mengendap di dalam hatiku.
Bapak yang dari tadi hanya diam berkonsentrasi pada jalanan sedikit melirikku dari spion kiri, tersenyum.
“Menurutmu karena apa?” senyum tipis menghiasi wajahnya.
“Entahlah pak, aku sudah mengira-ngira selama ini. Tapi tak jua kutemukan jawaban yang tepat. Padahal kan harganya lebih mahal, dan yang lebih aneh menurutku pak, kenapa bapak tak sekalian saja mengisi full tank?” isi hatiku keluar dengan sendirinya.

“Beda berapa sih beli di kakek tadi dengan di pom bensin?” bapak mulai memainkan kuisnya. Kebiasaan unik beliau ini yang tidak dimiliki anggota keluargaku yang lain.
“ Lima ratus rupiah kira-kira perliternya.” otakku bekerja sebagai kalkulator.
“Banyakkah lima ratus bagimu nak?”
“Tidak juga sih pak,” sepertinya aku mulai mengerti arah jawaban bapak.

Lima ratus rupiah bagiku mungkin tak terlalu banyak, tapi mungkin bagi kakek yang menggantungkan pendapatannya pada lima ratus rupiah tiap botolnya akan sangat berarti. Dengan kemudahan pengendara mengisi di pom bensin, akan jarang sekali orang yang membeli bensin di gubuk kakek ini. Ah, ternyata lima ratus yang selama ini menghantuiku memiliki arti yang sangat bermakna.


#tantanganODOP #temaseharihari

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jadi Blogger Profesional bersama ODOP Blogger Squad

Ganti Domain Blog-mu jadi .com dengan Mudah

Beri Makan Kucingmu dengan satu klik dari Handphonemu dengan Bardi Smart Pet Feeder!